Sepotong Roti dan Maaf Ibu
"Terakhir kali aku makan roti seperti ini ketika kelas satu SD." ucapku dengan mulut penuh melahap roti lapis susu yang disajikan Ibu.
"Makanlah sampai kau kenyang. Lalu, tuliskan beberapa bait kata-kata untuk Ibu simpan sebagai kenangan."
Aku tak peduli. Aku hanya ingin makan roti sebanyak-banyaknya dan menyisakan sepotong untuk nanti sore. Dengan mulut penuh remah-remah aku bicara,
"Aku ingin berikan sepotong roti ini dan beberapa kata buat Ibu nanti."
Iya, itu momentum paling berkesan untuk diriku, di mana hal itu merupakan pengalaman terakhirku memakan roti saat SD. Semua berubah saat Bapak meninggal karena stroke. Setelah peninggalan Bapak, Ibu bekerja keras. Kami selalu mengalami kemiskinan.
Hidup di bawah ambang kemiskinan membuat sarapan harianku tak seindah masa SD dulu, kini setiap paginya Ibu selalu menghadirkan singkong rebus sebagai sarapan favoritku. Meskipun aku selalu tak menyukainya.
"Aku ingin makan roti. Biar seperti kawan-kawanku. Biar aku juga tahu rasa roti dan bisa jadi kawan mereka."
"Memangnya kalau mau berkawan, makannya harus roti?" tanya Ibuku.
"Jadi kawan mereka memang harus seperti itu, Bu."
"Kalau begitu jangan berkawan dengan mereka. Cari kawan yang lain yang tak makan roti juga seperti dirimu."
"Tak ada. Mereka semua makan roti, kecuali aku."
Percakapan kami berakhir di pagi itu. Aku pergi sekolah dengan seragam putih merah yang lebih mirip kain lap daripada pakaian. Di sekolah, aku duduk di bangku paling belakang. Sendirian.
Aku diasingkan karena aku tak membawa bekal roti seperti kawan-kawanku yang lain. Guru-guru juga tak mau bicara padaku. Mereka lebih senang bertanya pada kawan-kawanku yang duduk di depan.
Padahal mereka tak pernah menjawab pertanyaan dari guru dengan benar. Semua ini gara-gara aku tak pernah makan roti. Mereka anggap aku tak tahu apa-apa hanya karena aku tak tahu rasa roti.
Kalau mau menelusuri sumber masalahnya, ini pastilah salah Ibu karena tak pernah memberikanku roti. Setiap hari cuma singkong rebus.
Hari itu aku pulang sekolah dengan tubuh penuh luka dan lebam bercampur lumpur. Aku takut masuk ke rumah karena Ibu pasti akan marah kalo tahu aku berkelahi. Aku hanya diam di depan pintu sambil ketakutan.
Tak berani mengetuk pintu sampai hari beranjak sore dan Ibu membukakan pintu. Mungkin ia telah bersiap ingin mencariku karena dikiranya aku belum pulang.
"Kamu sudah pulang rupanya. Kenapa tak masuk? Bajumu kotor sekali. Kenapa wajahmu lebam? Kau berkelahi?" cecar Ibu. Segera ia menarikku kasar sambil terus mengoceh. Aku diam dan menahan isak tangis.
"Aku tak berkelahi, Bu."
"Lalu, kenapa wajahmu lebam? Kenapa bajumu kotor?"
"Mereka duluan yang memulai. Mereka mengolok dan mendorongku. Aku cuma membela diri."
"Itu namanya berkelahi! Mau jadi apa kamu?! Anak nakal! Ibu tak menyekolahkanmu untuk jadi jagoan. Sudah merasa hebat kamu! Bikin malu saja!"
"Tapi mereka..."
"Mereka! Mereka! Mereka terus! Kau ini selalu memusuhi orang lain. Menyalahkan orang lain untuk terus melindungi dirimu sendiri! Kan Ibu sudah bilang, kita ini orang miskin. Melawan mereka itu percuma saja."
"Aku tak memusuhi mereka. Mereka yang memusuhiku! Mereka tak mau jadi kawanku karena aku tak makan roti dan itu semua gara-gara Ibu! Ibu tak pernah membelikan aku roti!" teriakku geram sambil terisak.
Kemudian, aku berlari keluar rumah meninggalkan Ibu yang diam. Ibu tak berkata apa-apa lagi, bahkan tak memanggil namaku. Sambil berlari aku menangis antara marah dengan Ibu dan menyesal telah membentak Ibu, tapi Ibu memang salah! Ini semua gara-gara Ibu.
Malamnya aku kembali ke rumah setelah lelah berjalan keliling kampung. Ibu juga tak mencariku. Mungkin dia juga marah sama sepertiku. Di rumah sepi. Ibu tak ada di rumah.
Aku heran ke mana perginya Ibu malam-malam begini. Apa ia mencariku? Ah, biar saja. Biar dia lelah mencariku. Siapa suruh dia marah-marah. Aku mengganti pakaian, mencuci kaki, dan tangan. Lalu, pergi tidur. Aku lelah hari ini dan tak ingin memikirkan soal Ibu.
Setelah hari dan malam yang melelahkan itu, aku bangun pagi sekali dan tak mencium bau singkong rebus seperti pagi-pagi biasanya. Aku mulai memikirkan Ibu. Apa Ibu belum pulang? Aku ke dapur dan melihat di atas meja sudah ada sepotong roti lengkap dengan susu di atasnya.
"Makanlah roti itu, Nak. Lalu, tuliskan beberapa kata untuk Ibu sebagai tanda kau telah memaafkan kesalahan Ibu kemarin, juga semua kesalahan Ibu sejak dulu dan setelah ini." lirih Ibu sembari membelai rambut hitamku dengan halus.
Aku menoleh pada Ibu dan menemukan beberapa tetes air mata mengalir dan jatuh ke pipinya. Ibu juga berusaha menghapusnya, tapi air mata itu terus keluar. Mungkin itu bentuk kebahagiaan Ibu setelah mampu memberikan aku sepotong roti. Aku tak mengerti apa-apa saat itu, hanya sumringah dan makan roti itu dengan lahap.
"Sekarang kau tahu rasa roti dan bisa berkawan dengan mereka, Nak."
Aku tak menghiraukan ucapan Ibu. Kumakan roti itu. Rasanya tak begitu enak, tak lebih enak dari singkong rebus. Mungkin karena aku sudah terbiasa sarapan dengan singkong rebus. Namun, aku merasa bangga karena telah makan roti di pagi hari itu.
Nanti di sekolah aku bisa masuk kelas dan cerita dengan kawan-kawanku. Mereka tak akan memusuhiku lagi. Namun, pagi itu setelah mandi dan berseragam, aku tak berangkat sekolah.
Aku berdiri di depan pintu menyaksikan kepergian Ibu dengan borgol yang melingkari pergelangan tangannya. Ia digandeng oleh 2 polisi berseragam, mobil polisi sirinenya juga menyala, berbunyi nyaring memekakkan telinga dan mengiris hatiku tipis-tipis.
Seperti sebuah mimpi. Aku tak percaya jika melihat Ibu digerondol layaknya seorang kriminal berat. Bahkan Ibu juga belum memakan potongan roti yang aku sisakan tadi. Berlinang. Seketika air mata menetes kecil. Sarapan pagi dengan roti yang awalnya terasa nikmat kini berubah. Kelam dan gelap.
Ibu dirangkul oleh 2 polisi berseragam itu ke dalam mobil tahanan. Kuhitung tiap-tiap langkahnya pergi meninggalkan rumah pagi itu. Aku menangis pilu, air mata tak berhenti mengalir. Di saat itu, Ibu hanya berkata,
"Tenang, nak. Ibu bakal sehat-sehat kok di sana. Kamu jangan nakal, ya."
Mobil polisi itu mulai meninggalkan rumah, aku bahkan tak sempat melihat senyum manis ibu saat ia pergi. Polisi itu memang brengs*k! Bahkan ia gak memberikan aku waktu untuk melihat senyum ibu. Benar-benar brengs*k.
Aku tak pergi ke sekolah, aku takut menjadi bahan ejekan karena ibu diborgol polisi. Aku hanya diam dan memperhatikan sisa potongan roti untuk ibu tadi.
Aku diberitahu jikalau Ibu ditangkap karena mencuri roti di toko milik seorang wakil rakyat yang berwirausaha. Ibu dihukum 5 tahun dengan berbagai alasan untuk memberatkan hukumannya. Tidak ada keringanan hukum. Padahal Ibu hanya mengambil sepotong roti dan susu.
Pemilik Toko merasa sangat dirugikan sangat besar, bahkan ia sempat mencaci Ibu dengan kalimat "penyakit dalam masyarakat". B*rok kotor yang harus diamp*tasi agar tidak menyebar.
Demi apapun, aku benci orang itu! Orang yang telah menuduh Ibu sebagai penyakit, sedang dia tidak mau memberikan sepotong roti sebelum Ibuku terlanjur menjadi penyakit. Aku juga benci keluarganya yang tak mau menolong orang-orang sakit di sekitar mereka, padahal mereka keluarga kaya. Namun, apalah arti benci untuk orang kecil sepertiku. Ibarat setitik bara di derasnya hujan.
Hari-hari awal ku tanpa Ibu terasa berat. Tak ada lagi yang membuatkanku singkong rebus lagi. Tak ada yang menghelai rambut hitamku dan tidak ada yang memberi kecupan manis di setiap pagi.
Aku harap masa hukuman Ibu lebih ringan dan aku bisa bercanda ria bersama Ibu lagi. Namun, keinginan itu semua sirna. Ibu meninggal di penjara sebelum masa hukumannya habis. Ibu sakit-sakitan dan tak mendapat penanganan yang layak.
Ibu pergi tanpa melunaskan janjinya kemarin. Ibu bilang dirinya bakal sehat dan akan pulang. Nyatanya tidak! Ibu pergi terlebih dahulu dan tak menghabiskan potongan roti kemarin.
Mendengar kabari itu, hidupku bak seperti sebuah pohon yang tumbuh di daerah gurun. Hampa dan terpa. Hanya itu yang aku rasakan. Mungkin ini hal terberat dalam hidupku. Semua terjadi. Cepat dan tanpa ada kata perpisahan dari bibir manis Ibu. Semua berjalan begitu saja.
Aku dititipkan sanak saudara ke panti asuhan. Hidupku tak berubah meski aku sudah tahu rasa roti. Mereka tetap menolakku sebagai kawan karena baju seragamku seperti kain lap.
Hanya saja aku tak menangis dan menyalahkan Ibu lagi. Aku tahu Ibu tak salah, bahkan tak pernah salah. Akulah kesalahan itu. Aku terlalu memaksa ego besar ini untuk memaksa Ibu melakukan hal yang sulit dilakukan.
Aku hanya terus memikirkan diriku sendiri tanpa melihat perjuangan Ibu agar aku tetap sehat. Ah, aku tak berhenti menyesalkan kesalahanku. Aku bahkan belum sempat menuliskan sedikit kenangan yang kelak akan Ibu simpan. Dasar anak b*doh!
"Tuliskankah kata-kata untuk Ibumu. Ibu akan menunggu bagianmu." itu ucapan terakhirnya padaku sembari menyodorkan catatan kecil.
Demikian, kudapati sebuah catatan kecil di bawah piring roti ku.
"Ibu tahu, kau mungkin masih marah terhadap Ibumu. Ibu berharap kau bisa memaafkan Ibu. Semoga kata-kata yang Ibu tulis ini memang benar-benar kau baca. Salam hangat dari Ibu." Demikian ia menulis di sebuah catatan kecil itu.
Semenjak aku menemukan catatan kecil itu, hidupku selalu dihantui rasa bersalah yang amat besar. Entah bagaimana aku bisa membentak Ibu yang sudah menjagaku sampai saat ini. Aku merasa menjadi sebagai anak yang gagal dan durhaka.
"Maafkan aku Ibu. Semoga Ibu tetap tenang bersama Ayah di surga. Aku janji tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi."