Buku, Hujan dan Pandangan Pertama
Hujan gerimis disertai sendu angin kecil itu datang lagi. Bersamaan saat pertama kali aku mengenal wanita berpayung biru itu. Berambut hitam terurai sampai bahu. Terdapat lesung manis di pipi kirinya. Aku mendapati dirinya sedang berteduh di depan sebuah perpustakaan. Iya. Perpustakaan yang kelak menjadi sebuah hal penting bagiku.
Pagi itu, di Bandung. Hujan deras terus membasahi Bandung tanpa jeda sekalipun. Aku, seorang pria pasif pecinta buku, baru saja akan berangkat menuju perpustakaan favoritku. Rintik hujan perlahan terus membasahi sepatu dan payung kecil pemberian nenek. Seperti biasa, aku menyapa sang penjaga perpustakaan dengan ramah, yang kebetulan dia juga merupakan teman SMP ku dulu.
"Apakah kau ingin membaca buku lagi?" tanya si penjaga perpustakaan.
"Ah, entahlah teman. Aku terlalu sering menghabiskan masa aktifku dengan membaca buku ini terus, dan kurasa itu lebih baik."
Kaki melangkah masuk menuju perpustakaan. Tanganku mulai mencari-cari buku baru. Sembari bersenandung kecil, akhirnya aku menemukan sebuah buku yang kurasa itu buku yang memang aku cari sejak dulu.
Tak sengaja jariku bersautan dengan jari wanita lain. Betapa kagetnya aku, mendapati wanita berparas elok nan manis. Sudut hidung yang presisi membuatku seolah terpana dalam sekejap. Ditambah dengan lesung kecil itu membuatku semakin tumbang dalam angan mimpi.
"Maaf, aku tak sengaja." ucapku dengan sedikit malu.
"Oh, tidak apa-apa. Bukankah kau duluan yang menemukan buku ini?"
"Iya, tapi jikalau kau yang ingin membacanya dahulu, silakan. Aku berkenan." jawabku sembari terus mencuri pandang.
"Ini tidak jadi masalah, kan? Baiklah, aku akan membaca buku ini duluan. Terima kasih. Kau pria yang baik."
Setelah itu, dia pergi dengan aura yang menawan masih terasa di sekitar ruangan itu. Aku kembali terpana dengan suara halus dan lesung pipinya. Ah, andaikan waktu itu tadi bisa lebih lama. Aku tak pulang. Aku terus saja mengkhayalkan wanita itu tadi. Bagaimana mungkin aku sudah jatuh cinta pada wanita yang pertama kali aku kenal? Ah, entahlah. Aku rasa wanita itu sudah meracuniku.
Keesokan harinya aku berharap wanita berpayung itu kembali datang. Terus duduk dan membaca, meskipun tujuanku yang sebenarnya adalah untuk bertemu wanita itu.
Sekian lama menanti, akhirnya harapanku benar-benar datang. Ia kembali dengan lesung pipi dan payung khasnya itu. Ia datang sembari menggenggam buku yang kuberikan kemarin.
"Aku sudah selesai membacanya. Jadi, aku kembalikan agar kau juga bisa membacanya."
"Ah, terima kasih. Aku juga tak berharap kau mengembalikan buku ini terlalu cepat. Sebab aku juga sudah menemukan buku baru di sini." jawabku.
"Apakah itu benar? Aku rasa kita berdua memiliki sedikit persamaan di sini. Aku harap, mungkin suatu saat kita bisa membaca satu buku itu bersama." jawabnya sembari menunjuk buku baru.
"Dengan senang hati aku menuruti keinginan dirimu. Mungkin setelah ini kita bisa duduk santai sembari minum kopi di kedai depan itu." ajakku padanya. Entah apa yang terjadi, bibirku seolah mudah mengatakan ajakkan kecil itu. Aku berharap wanita itu luluh dan mau menerima ajakkanku tadi.
Yang benar saja, wanita itu mau dan berangkat ke kedai kopi itu bersamaku. Aku merasakan kehangatan yang amat saat bersama dirinya. Meskipun terkesan berlebihan, tapi perasaan diriku tak bisa membohongi pesona wanita itu.
Sesampainya di sana, kami memesan kopi hangat. Sedikit gula, sebab kami tak suka manis. Duduk berhadapan. Membaca buku bersama. Membuka tiap helai kertas bersamaan. Rintik-rintik hujan membantuku untuk menikmati kehangatan tiap bersama dirinya.
Pesona senyumnya beserta lesung pipinya membuat aku semakin gila. Aku terlalu menikmati momen itu hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Kami segera bergegas pulang, sebab takut hujan bertambah deras. Pertemuan pertamaku bersama dirinya di kedai itu membuat sedikit senyumku terbuka. Aku takkan melupakan hal manis seperti itu.
Masih di Bandung, dengan cuaca yang sama juga. Namun, perasaan yang berbeda. Wanita itu datang menghampiriku, dan mengajakku untuk ke kedai kopi lagi. Duduk di meja nomor 2, dengan pesanan yang sama. Kopi dengan sedikit gula. Di sini ia tak sekedar membaca buku, melainkan bertanya mengenai kehidupan pribadiku.
"Apakah kau sudah lama menekuni hobi membaca seperti ini?"
"Ya, lumayan, 2 tahun belakangan ini."
"Dari hobimu itu, apakah kau pernah berpikir jikalau ada seorang wanita yang menyukaimu?"
Pertanyaan itu seolah menjebakku. Aku merasa bahwa wanita ini benar-benar mulai menyukaiku.
"Ah, tunggu. Kenapa pertanyaan itu sangat tiba-tiba?" jawabku seolah tak mengerti.
"Entahlah, aku hanya ingin bertanya."
"Oh, mengenai masalah itu. Aku tidak terlalu peduli. Aku percaya mengenai seseorang yang jatuh cinta pada pandangan pertama, dan aku rasa, aku merasakan itu."
Dia diam. Mengaduk kopinya sebelum dingin. Keadaan jenuh, hanya terdengar rintik-rintik hujan yang deras. Kami kembali membaca buku, dan melakukan hal yang sama seperti kemarin. Dengan kenyamanan seperti ini, aku merasa bahwa kami sudah jatuh cinta.
Semenjak hari itu, kami selalu bersama di kedai itu. Setiap hari. Dengan pesanan yang sama juga. Kini payung kami tak saling berjauhan. Namun, kami sudah satu payung. Kami berteduh di payung yang sama. Aku tidak memperdulikan derasnya hujan yang membasahi sepatu dan payungku, yang penting aku bersamanya setiap saat.
Dalam masa-masa indah itulah, aku dan wanita berpayung biru itu saling perhatian dan membangun suatu ikatan unik. Aku rasa aku jatuh cinta pada wanita itu karena kebersamaan kami.
Kembali mampir ke perpustakaan. Dengan kondisi Bandung yang masih hujan deras. Dalam kondisi pakaian yang basah. Aku mencoba mengeringkan payung nenekku. Aku kembali masuk dan mencoba mencari buku yang baru saja datang. Bertemu dengan penjaga perpustakaan. Ia menanyakan sesuatu padaku.
"Hei, belakangan ini kau terus datang dan mampir ke kedai di sebrang bersama seorang wanita. Apa yang terjadi? Kau sedang jatuh cinta?"
"Memang iya, aku belakangan ini suka terhadap kopi itu. Mengenai jatuh cinta itu, aku tak bisa berkata banyak. Biar saja itu menjadi urusan Tuhan, kita hanya menjalaninya."
Aku kembali duduk, dan mencari buku baru. Berharap aku dan wanita itu duduk bersama di kedai kopi itu lagi. Membuka setiap helai buku, memahami tiap paragrafnya dengan jeli. Waktu demi waktu terus berjalan. Setelah sekian lama menanti. Wanita itu tak hadir.
Tidak seperti biasanya. Aku terus berpikir positif terhadap alasannya tak bisa hadir hari ini. Mungkin hujan yang deras membuatnya tak bisa keluar. Akhirnya aku pulang. Pulang sendirian dengan sedikit rasa kecewa di hatiku.
Keesokan harinya, aku kembali lagi ke perpustakaan. Duduk dan membaca kembali buku yang tak rampung ku baca semalam. Terus menanti, sambil membaca buku dan bersenandung kecil. Sembari berharap wanita itu datang. Nyatanya tidak. Aku merasa kecewa lagi. Untuk kesekian kalinya wanita itu benar-benar tidak datang.
Entah apa yang ada dipikiranku. Aku terus berharap dia datang tanpa melihat keadaan sekarang. Sudah hampir seminggu wanita itu tak hadir. Aku terus membaca buku dan menikmati kehangatan kopi itu sendiri. Aku terus saja berpikir positif mengenai ketidakhadiran wanita itu.
Hingga pada suatu sore, saat aku hendak pulang dari kedai kopi itu. Wanita itu muncul dengan mengenakan payung biru dulu. Hatiku merasa senang, karena aku sudah tak bertemu lama dengannya.
"Hai, kemana saja kamu seminggu ini tidak mampir ke perpustakaan dan menikmati kopi bersamaku lagi?" tanyaku dengan gigih.
"Ada suatu hal yang penting. Ada yang ingin kubicarakan di sini." ucapannya dengan wajah serius.
"Apa?"
"Maafkan aku. Maafkan aku. Aku rasa hubungan akrab kita tak bisa dilanjutkan lagi. Sekali lagi maafkan aku." lirihnya sambil mengelus daguku dengan jemarinya yang halus.
"Apa yang terjadi? kenapa kau meninggalkanku secepat ini? kita bahkan belum merasakan menu baru di kedai itu."
"Maafkan aku. Maafkan aku. Aku tak ingin menyakiti hatimu dengan kata-kataku di sini. Aku harap kau tak membenciku di sini. Kau pria yang baik." wanita itu menangis.
Ia mulai pergi beranjak dari hadapanku. Diriku seakan tak percaya jika ia mulai benar-benar pergi. Wanita itu pergi. Setiap langkahnya kuhitung hingga ia menjauh. Sangat jauh dariku. Aku tak mengerti maksud dari kalimatnya. Ini terasa sangat singkat.
Aku sangat merasa bingung sekali. Hujan yang deras membuat ku terdiam hening untuk beberapa saat. Keesokannya, aku diberitahu oleh seseorang bahwa belakangan ini beredar kabar bahwa wanita itu sudah dipersunting oleh pria lain. Aku kaget mendengar berita itu. Seolah tak percaya, bagaimana mungkin wanita itu bisa menikah dengan pria lain, sedangkan setiap harinya dia selalu bersamaku.
ku tak habis pikir. Aku pikir hubungan kami memang istimewa. Nyatanya tidak. Berbanding terbalik dengan apa yang aku harapkan. Kini harapanku untuk mendekatinya sudah sirna tak berbekas.
Apakah ia membenciku? entahlah. Aku mulai menangis. Sedikit ringkikan kecil. Namun kali ini, rintik hujan mampu menyamarkan sedihku. Aku pulang, memikul rasa sedih yang besar. Merasa cemas mengenai maksud dari kalimatnya tadi.
Semangatku untuk membaca dan mampir ke kedai itu telah hangus. Aku tak ingin terus mengingat kenangan manis kami di sana. Makanya setelah beberapa saat, aku memutuskan untuk berdiam dan membaca buku di rumah.
Dia datang kembali padaku, tetapi tak mengajakku menikmati kopi di kedai itu, melainkan mengirim undangan pernikahan dan menyuruhku untuk datang. Perasaan bodoh apa yang menyertaiku saat itu. Aku dengan mudah saja menerima kepergian seseorang yang aku sukai.
Sungguh aneh. Sepanjang malam itu aku terus duduk diam. Merenungkan apakah ini memang takdir Tuhan atau hanya aku yang mendahului perasaan. Maafkan aku Tuhan, yang hanya merayumu ketika aku rapuh. Semua seperti dongeng di buku yang sering kubaca. Terasa lucu.
Hingga pada hari pertama pernikahannya tiba. Aku hanya duduk di kedai kopi itu sendiri. Aku tak datang. Aku tak ingin melihat wanita yang kusukai selama ini dipersunting pria lain.
Rintik hujan tak lagi menemaniku, kini Bandung sudah memiliki hari yang cerah. Terlihat awan-awan oranye mulai bermunculan, disertai para burung kecil beterbangan bebas. Hal itu menandakan bahwa kota Bandung menginginkan aku tuk senyum kembali.
Menghadapi setiap manusia baru dengan senyuman. Mengawali hari seperti sebelum aku mengenal wanita berpayung itu. Kini aku tak menjadi pria pasif lagi, aku harus mulai terbiasa menghadapi itu semua. Meskipun anggapan diriku mengenai itu sendiri tidaklah mudah.
Harapanku yang terakhir ialah, berharap wanita itu terus bahagia bersama pria yang mempersuntingnya, dan ini bakal jadi pengalaman pahit yang aku terima selama hidupku. Terlepas dari itu, sepertinya Bandung menginginkan aku benar-benar senyum terhadap orang lain.
Biarkanlah itu berlalu, Tuhan tak bakal salah memberi cinta pada hamba-Nya. Setelah kepergiannya, banyak sekali yang mencoba mendekat, tapi pada akhirnya mereka berhenti karena sampai sekarang belum ada yang bisa mengganti perannya.
"Lagi-lagi perasaan kecil ini tumbuh, tumbuh dengan cepat. Tak peduli berada di mana, yang jelas aku percaya bahwa cinta pandangan pertama itu ada."